Dititik
permulaan aku berjalan, ustadz ditempat kami mengaji, beliau sering kali
berseru, “rasakan!”.
Awalnya
aku mengabaikannya, menganggap itu tidaklah penting dan tidak bermakna. Seiring
berjalannya waktu dan bertambahnya kajian islam yang ku kaji, aku sering kali
mendapati kalimat-kalimat dari salaf yang tak ku mengerti, seperti perkataan Amirul
Mukminin Umar bin Khatthab :
“Aku
tidak peduli dengan keadaan susah atau senangku, karena aku tidak tahu manakah
diantara keduanya itu yang lebih baik bagiku”
Ada lagi :
“Aku
tidak diresahkan dengan terkabulnya do’a, namun yang ku resahkan adalah
keinginan untuk berdo’a itu sendiri”
Kemudian :
Dari
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam :
“Sungguh
mereka (para nabi) bergembira dengan musibah sebagaimana kalian bergembira
dengan kemudahan”
(Diriwayatkan
oleh Ma’mar bin Rasyid, Ahmad, Ibnu Majah dan selain mereka. Dishahihkan oleh
Albany rahimahullah dalam Ash-Shahihah no.2047)
---
Awalnya
aku tidak mengerti mengapa kesusahan itu bisa lebih baik daripada kesenangan, dulu
aku merasa resah dengan terkabul atau tidaknya do’a dan aku tidak mengerti rasanya
bergembira karena musibah, justru aku merasa heran, bukankah musibah hanya akan
melahirkan kesedihan?
---
Sekarang
aku mulai mengerti, sekarang aku mulai merasakannya juga walau tak sesempurna perasaan
yang dirasakan oleh khalifah Umar dan para Nabi. Aku pernah merasa iri dengan
temanku yang mendapat musibah berupa sakit, aku merasa ia disayang dan aku didiamkan,
namun aku yakin prasangka ini salah, aku tidak boleh berprasangka bahwa aku didiamkan,
ini bukan didiamkan, namun ini adalah ujian rasa syukur.
Ketika
aku mulai mengerti perasaan seseorang, akupun ikut merasakan, sakitnya, sedihnya,
senangnya hingga beban yang dipikulnya. Aku mengerti rasanya mengerti perasaan.
Aku meyakini bahwa yang bisa mengerti perasaan hanya yang mengalami hal yang
sama, jika ada yang berkata bahwa ia mengerti perasaan tanpa mengalami hal yang
sama, mungkin yang ia maksud adalah mencoba mengerti perasaan.
No comments:
Post a Comment