Saturday, 31 October 2015

Bertemanlah dengan Orang yang Dekat kepada Allah



Sesungguhnya aku sangat menyadari bahwa teman itu memiliki pengaruh, baik besar maupun kecil, baik kita sadari ataupun tidak, maka dari itu bertemanlah dengan orang yang dekat kepada Allah, karena orang yang seperti itu tidak akan mencela/menyalahkan kita ketika kita melakukan kesalahan padanya, yang ketika kita meminta maaf ia akan maafkan atau ia akan berkata, “engga apa-apa” atau “udah engga perlu minta maaf”, yang akan tetap bersikap baik walau kita mungkin telah/pernah menyakiti hatinya, yang akan selalu berusaha membantu temannya dimasa sulitnya, yang akan menasehati kesalahan temannya dengan kelembutan disebabkan rasa cintanya kepada kita, yang akan menutupi aib kita disaat orang lain tanpa rasa bersalah telah menyebarkannya, yang senantiasa memberikan udzur meski kita diam tak memberi alasan. 
 
Bertemanlah dengan orang yang dekat kepada Allah, karena orang seperti itu adalah orang-orang yang (memungkinkan) senantiasa mendo’akan kebaikan untuk kita dalam sujudnya.

Aku menuliskan ini karena teringat respon temanku terhadap kesalahanku, berikut adalah cerita tentang perbedaan menyikapi :

Cerita pertama, saat sedang KKN, maksud hati ingin menaikan listrik yang turun, namun ternyata bukan dinaikan malah diturunkan, (disini ada kesalahfahaman, yang membuatku merasa ini tidak mutlak kesalahanku), temanku yang sedang membuat sertifikatpun menjadi kesal, aku meminta maaf atas pembaharuan sertifikat itu yang hilang karena belum disave, namun ia masih memiliki file sertifikat sebelumnya. Aku meminta maaf dan ku katakan akan aku buatkan yang baru, namun permintaan maafku dibiarkan mengambang di udara, ia bermuka masam sambil mengatakan sesuatu yang tidak melapangkan hati.

Cerita Kedua, kejadian beberapa minggu yang lalu, aku tidak sengaja membuat cobek temanku terbelah, setelah aku meminta maaf, ia berkata, “udah engga apa-apa, mengurangi produksi sambel”. Jawabannya melapangkan hatiku, walau ia berkata tidak apa-apa, tetap saja hatiku berkata, InsyaAllah aku akan menggantinya.

Cerita ketiga, kejadian beberapa hari yang lalu, ketika kami bertiga sedang bercanda, aku tidak sengaja menyenggol gelas sehingga ia terbalik dan menumpahkan airnya, qadarullah air tersebut mengalir menyelimuti handphone temanku, sehingga aku meminta maaf dan ia berkata, “ngga papa, biar Hp nya mandi”

Aku mengetahui kegiatan keseharian ketiga temanku tersebut (karena aku pernah/memang tinggal seatap dengan mereka), sehingga aku bisa melihat shalatnya, intensitas membaca al-Qur’annya dan bisa membuat hipotesis terkait kedekatannya kepada Allah.

“Nikmat iman dan islam adalah nikmat terbesar, setelah itu adalah nikmat memiliki teman yang dekat kepada Allah”

Kamar tercinta, 31 Oktober 2015

Ditengah lelahnya benak menyelam dalam penulisan skripsi
Teringat orang-orang tercinta, bersyukur atas hadirnya mereka
Semoga kita bersama kembali di Surga yang saat ini kita bersama berusaha meraihnya
Bersama Allah dan orang-orang tercinta

Wednesday, 21 October 2015

Keletihan yang Menghadirkan Jera [Mengenang Perjalanan Kuliah]


Sebelum memutuskan untuk memilih UNJ, aku tahu UNJ cukup jauh dari rumahku, ada UI dan UIN yang lebih dekat dari rumah, namun akhirnya aku tetap memilih UNJ karena saat itu aku menyanggupi untuk menjalani perjalanan jauh.

Aku tidak diizinkan untuk ngekost oleh bapak, sehingga pada semester 1 aku pulang pergi dengan patas AC 84, dengan jadwal kuliah dari pagi-sore, membuat aku harus berangkat setelah shalat subuh (sekitar jam 05.00 WIB) dan pulang ba’da maghrib (sampai rumah sekitar jam 22.00 WIB), selama satu semester aku seperti ini dan ini membuat fisikku terasa sangat letih, hingga akhirnya aku merasa jera menjalani perjalanan jauh yang rutin. 

Keletihan itu membuat aku menjadi sulit konsentrasi, mudah ngantuk, dan sering mengalami suasana hati yang tidak mengenakkan. Secara tidak langsung, pada masa ini aku mulai menjadi orang yang pelit dengan waktu, jarang berkumpul/ngobrol dengan teman, tidak suka menunggu teman yang mengantri di kantin, intinya aku sangat tidak suka membuang-buang waktu. Secara tidak sadar aku membentuk diriku untuk melakukan semuanya sendiri.

Semester 2, aku mulai tidak tahan pulang pergi Meruyung-Rawamangun, akhirnya hanya dengan berbekal izin ibu (tanpa izin bapak) aku nekat ngekost. Pada masa ini aku merasa kehilangan orang-orang terdekat (maksudnya karena jauh dari keluarga, aku merasa kesepian), terkadang sampai tidak bisa tidur karena tidak terbiasa dengan lingkungan yang sepi.

Semester 3, aku PP (pulang pergi) lagi, namun sekarang bukan dengan patas tetapi dengan kereta. Naik kereta sama letihnya + berdesak-desakkan dan jalan kaki, namun lebih hemat waktu (naik patas bisa 3 jam di jalan, pernah 4 jam sedangkan naik kereta kurang lebih 2 jam perjalanan). Aku naik kereta sejak semester 3 sampai akhir semester 5. Perjalanan ini membuat telapak kakiku mengeras hingga akhirnya membuat telapak kaki terasa sakit apabila terlalu lama berjalan.

Di semester 4, aku sering sekali ngedrop, tidak kuat di perjalanan, sampai akhirnya sudah ditengah jalan pulang lagi, atau beralih dari kereta ke patas. Hari jum’at aku sering sekali bolos karena tidak menyanggupi menjalani perjalanan ke kampus. Akhirnya, aku memutuskan akan mengurangi sks yang diambil di semester depan.

Menjelang UAS di semester 5 (sekitar bulan Desember 2014), karena aku memiliki tekad baru di semester ini, yaitu ingin mendapat IPS cumlaude lagi, untuk itu aku tidak boleh mengerjakan soal dengan konsentrasi yang setengah-setengah (karena setengahnya lagi tersita oleh keletihan di perjalanan), maka dari itu, aku memutuskan untuk ngontrak bersama teman-temanku yang telah mengenal sunnah. Alhamdulillah, pada masa ini, aku mulai memulihkan kesehatan (karena biasanya fisikku selalu dalam kondisi kelelahan). Di masa ini, waktu tidurku mulai cukup, aku tidak bergadang lagi karena kekurangan tidur seperti biasanya.

Di semester ini juga aku mulai membawa sepeda motor, si miu, jadi dari kontrakan ke kampus B UNJ, aku naik motor, alhamdulillah, meringankan.

Qadarullah, pada semester 6 (sekitar bulan april) kami mengalami musibah, hingga mengharuskan kami untuk pindah dari kontrakan. Akhirnya kami (berempat) kini tinggal di PESAN BISA (Pesantren Kosan) BISA dekat Kukusan Teknik UI. 

Sekarang, aku sedang menjalani semester ke 7, di semester ini aku hanya mengambil 7 sks (belum ditambah KKN) 2 sks PKM, 2 sks SPS dan 3 sks KF 3. Alhamdulillah, untuk pertama kalinya, ada juga hari libur dari kemondar-mandiran Depok-Jakarta. Aku tidak menjadi aslab di semester ini, karena aku tidak ingin terlalu padat, jera hehe. InsyaAllah, semester 8 hanya skripsi dan menjadi asisten laboratorium.

Semua pengalaman ini, membuat aku mengetahui batasan diriku, membuat aku dapat memperkirakan dampak yang akan terjadi apabila aku melampaui batasanku. Aku menjadi sangat perhatian terhadap kesehatanku, menjaga waktu tidur, menjaga waktu makan, menjaga apa yang dimakan, dll.
Yang kini aku sesali adalah kantung mata yang masih jelas terlihat, yang membuat ia memperlihatkan dirinya ketika aku mengalami keadaan yang melelahkan.

Hasil akhir dari sesuatu yang dijaga itu pasti akan berbeda.

Mari menjaga : )

Pesan Bisa, 17/10/15

Saturday, 17 October 2015

Karya 38 [Banyak Membaca]


Karya 37 [Antara Guru dan Artis]


Karya 36 [Hijabku Memang Tidak Menarik]


Dialah Ibu

“Saat ibuku pergi, sejak saat itulah aku kehilangan permata hatiku. Karena itu, nikmatilah indahnya hidup bersama ibumu sebelum semuanya terlambat.”

(Syaikh Ali Mustafa Thantawi dalam Dzikrayaat)

Catatan:
Banyak kalimat dalam hidup ini yang bisa dieja dan difahami bersama, tetapi kalimat “Ibuku pergi atau Bapakku pergi” hanya kita yang bisa mengeja dan memahaminya.
---
Madinah, 1 Muharram 1347
ACT El-gharantaly
---

NB : Sedikit perubahan penulisan dalam catatan

Risalah Syukur

Wednesday, 14 October 2015

Wasiat Lukman Al-hakim Kepada Anaknya

“Wahai anakku... Jangan sampai ayam jantan lebih cerdas dari dirimu. Ia berkokok sebelum fajar, sementara kamu tidur mendengkur hingga melewatkan sholat fajar”

(Tafsir Al-Qurthubi)

Madinah, 21 Dzulqa’dah 1436 H

ACT El-Gharantaly

Saturday, 10 October 2015

Suara Mimbar Masjdil Haram

Ditulis oleh Ustadz Aan Chandra Thalib, klik disini

Jatuh dari Motor

Aku menyimpan kenangan (yang ku anggap buruk) tentang kecelakaan kendaraan di jalan, ini bukan karena aku mengalaminya, namun karena sejak kecil aku sering menyaksikannya, sebelum akhirnya merasakannya. Aku tidak tahu berapa banyak pose kecelakaan yang terrekam dalam benakku dan itu masih teringat dengan jelas, tentang suara, tangis, maki, luka, darah, hingga kematian.

Pertama kalinya aku jatuh dari motor adalah saat aku berboncengan, aku sudah menceritakan kisah ini diblog ini.
---
Entah mengapa semua teringat dengan sangat jelas hingga membuat aku tidak berani melihat ‘proses’ kecelakaan kendaraan, pernah tidak sengaja air mataku menetes melihat seseorang yang hampir jatuh dari motornya, ia hilang kendali entah karena gagal menghindari lubang atau terpleset atau mengantuk atau karena sebab lain. Saat aku melihatnya berusaha mengendalikan sepeda motornya untuk tegak kembali, aku berkata lirih, “jangan jatuh” dan disaat yang bersamaan jantungku terasa lemas. Alhamdulillah sepeda motornya terkendali kembali.
---
Di pertengahan jalan (sekitar pasar minggu), aku merasa sangat mengantuk, di Tanjung barat, motorku sudah miring kekanan, Alhamdulillah aku cepat bangun dan tidak terjatuh, sulit sekali menghilangkan rasa kantuk ini, saat mengendarai sepeda motor, aku paling malas berhenti ditengah jalan (malas mampir-mampir-red), hingga akhirnya aku meneruskan perjalanan. 

Di Lenteng Agung, rupanya aku tertidur lagi, aku tersadar ketika aku merasa miring ke kanan dan hendak jatuh, secepat mungkin kaki kananku berusaha menahan, namun Qadarullah wa Masya-a fa’ala, akupun terjatuh.

Aku khawatir ada yang menabrakku dari belakang, namun Alhamdulillah tidak terjadi, yang terjadi adalah hadirnya angkot dari samping kananku yang membuatku merasakan bahwa helmku bergesekan dengan dinding samping angkot, menyentuh dengan lembut.

Angkot itupun berhenti, musisi jalanan yang sedang bernyayi didalam angkot itupun kini tepat didepanku membantu mendirikan miu, dikiri miu juga ada seorang bapak yang membantu mendirikan miu. Aku merasa akulah yang salah sehingga akupun meminta maaf kepada supir angkot tersebut dengan isyarat tangan. 

Sebelum pergi, aku mengucapkan terima kasih kepada keduanya. Dengan badan yang sedikit gemetar, akupun menaiki miu kembali, aku baru sadar bahwa didepan miu ada seorang bapak yang memasang wajah marah kepada supir angkot tersebut, (ya ampun), akupun melaluinya sambil berkata, “terima kasih pak”.

Akupun berjalan kembali, namun miu terasa oleng, akupun berhenti, lalu tersadar bahwa spion kanan telah menyimpang 900 dari aturan posisi yang ku tetapkan, tidak bisa berubah seperti semula, akhirnya aku menyelesaikan sisa perjalanan dengan kondisi seadanya, pelan.
---
Setelah ku hitung-hitung, sepertinya aku sudah mengalami ‘masalah’ dijalan sebanyak 4x, jumlah ini terhitung banyak bagi yang belum pernah ‘bermasalah’ namun terhitung sedikit bagi yang sudah sering mengalami.

Kadar kita jatuh dari motor bisa berbeda karena intensitas dan jaraknyapun berbeda.

“Semakin sering mengendarai motor semakin besar peluang jatuh dari motor, semakin jauh perjalanan semakin besar pula peluang jatuh dari motor”

Mari kita lebih berhati-hati lagi

Semoga tidak terjadi lagi padaku dan pada selainku ‘masalah’ ini.

Akhir Riwayat si Tabung Reaksi

Hari ini anak-anak praktikum, niatku menghindari kegiatan berbau praktikumpun gagal (aku tidak menjadi aslab semester ini karena sedang jenuh dengan praktikum), nyatanya hari ini aku bersentuhan lagi dengan alat dan bahan yang mahal itu lagi, ya sudah tak mengapa, namun yang ku khawatirkan terjadi, aku tidak sengaja memecahkan tabung reaksi, walau hanya tabung reaksi namun bagiku ini merugikan dan merepotkan. 

Sebenarnya, aku rasa ini bukan salahku sepenuhnya, karena anak-anak meletakan tabung reaksi diatas meja begitu saja, kami memang tidak memberikan rak tabung reaksi, namun kami menyediakan gelas kimia ukuran 1 L untuk meletakan tabung reaksi yang telah selesai digunakan dan pada saat aku sedang merapikan meja, tersenggolah si tabung reaksi itu lalu iapun menggelinding, aku melihatnya ketika ia menggelinding namun tanganku sedang memegang alat lain, sehingga akupun membiarkannya terjatuh, namun sepertinya ia masih ingin untuk diselamatkan, ia menyentuh kakiku sebelum membenturkan dirinya ke lantai, aku jadi berharap ia selamat namun qadarullah aku harus mengatakan selamat tinggal.

Kepergiannya akan merepotkan dan menimbulkan kerugian waktu, uang dan energi, karena aku harus membersihkan puing-puing kaca di TKP sehingga waktu dan energiku jadi keluar untuk sesuatu yang aku anggap tak perlu, dan sekarang aku harus pergi ke toko yang menjual tabung reaksi untuk mengganti ia yang telah tiada, untuk mendapatkan penggantinya aku harus menyediakan waktu, uang dan energi, bukan begitu ?  Belum lagi jika ada kendala dalam menjalaninya,  ya intinya, kecerobohan itu merugikan, Kecerobohan orang lainpun dapat merugikan yang lain.

Mari kita meminimalisir kecerobohan untuk meminimalisir pula kerugian.

Alhamdulillah ‘ala kulli hal