Teman-teman, cerita minggu keempat dan
kelima ini aku gabung ya, menghemat waktu, he.
Jadi, karena hari selasa pagi aku mau
bimbingan dulu, jadi baru sampai Polres Depok dari Rawamangun sekitar jam 2
siang. Alhamdulillah ‘ala kulli haal, jam segitu kantor ternyata sudah tutup,
maka dari itu tes praktek di pindahkan di hari kamis.
Hari kamispun tiba, sekitar jam 10 aku
sudah di Polres Depok, yang tes hanya berdua ,
aku dan seorang anak muda, dia yang mulai duluan, bagus mengendalikan gasnya,
sayangnya baru dua putaran dia sudah melewati garis finish, gagal. Mungkin dia
salah hitung.
Tiba giliranku, Alhamdulillah tidak
terlalu ramai kerumunan polisi, namun tetap saja ada penonton setia, calon
polisi, hm. Jadi minggu ini aku gagal di puteran angka 8 yang kedua, 1 puteran
lagi untuk melewati garis finish, Qadarullah wa masyaa a fa’ala mesin motornya
mati, gagal.
Minggu kelima, udah males-malesan datang,
tapi ya tetap di jalani. Jam 10 sampai di Polres, namun baru mulai tes sekitar
jam 11 lewat. Tes dimulai, diputeran kedua udah terasa jok motor makin terasa
panas, panasnya nyakitin, rasanya kaya dibakar, udah ga fokus lagi, ga nyaman
duduknya, mendekati garis finish udah hampir hilang kesadaran #eh berlebihan,
maksudnya udah pasrah, biarin aja deh nabrak apa ya namanya, yang oren-oren
kerucut gitu.
Alhamdulillah, kenyataan kali ini lebih
indah, aku tidak menabrak atau menjatuhkan kerucut oren itu, hanya rasanya
melindas, he.
Bapak instruktur tidak langsung
memutuskan aku lulus atau tidak, hanya berkata tunggu di ruang TV, aku jadi merasa
digantung, tapi aku tidak bisa tahan di ruang TV (bisa ditebak alasannya), aku
pergi ke ruang pendaftaran, dekat ruang ujian teori.
Mematung dekat jendela menunggu
keputusan, tiba-tiba suara Pak Instruktur terdengar memanggil namaku, “Nur
Fadilah”
Aku mendekat, “kamu ngapain masih
disini?” tanya bapaknya
“jadi, saya lulus ga pak?” tanyaku
“kamu masih mau ngulang minggu depan?”
tanya bapaknya lagi
“gak lah pak, saya bosen” jawabku
“ya udah, terus ngapain masih disini?”
tanya bapaknya
“jadi, saya lulus pak?” tanyaku untuk
memastikan
“Iyaa” jawab bapaknya
“Alhamdulillah, makasih pak, pak (untuk
instruktur kedua) makasih”
Di ruang TV, aku menunggu namaku
dipanggil untuk menerima SIM.
Saat menerimanya, aku merasa lega
akhirnya kemondar-mandiran ini berakhir.
Dari pengalaman ini aku belajar banyak
hal, tentang keberanian mengambil keputusan agar mendapatkan SIM dengan jujur
dan mempertahankannya (tidak menyogok) walau di dalamnya menuntut banyak kesabaran
dan keikhlasan, tentang kemandirian menghadapi ini sendiri (maksudnya
mondar-mandir sendiri) namun Alhamdulillah dari sini aku jadi belajar dan
terbiasa mengadukan semua luka hati pada-Nya :’)
Terima kasih kepada teman-teman yang selalu mendukung dan mendo'akan :)
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Hamba yang selalu mengharapkan ampunan-Nya
Semarang, 12 Mei 2016,
05 Sya’ban 1437